Obituari untuk Sapardi Djoko Damono

Pagi tadi, pukul sembilan lebih belasan menit, Sapardi memberi hembusan kabar terakhir. Ia sekarang berjalan ke barat bersama hujan dan angin yang pernah ia tebar di bumi. Hujan dan angin yang pernah membuat saya demam puisi...


Ini, sebuah obituari sederhana untuk beliau, yang tak bakal menjadikan api bagi kayu yang menjadikannya abu.

Saya pernah tidak suka buku puisi:
Tipis dan mahal, dibanding novel dengan banyaknya kata. Saya lupa, buku puisi Jokpin atau Sapardi yang pertama saya miliki. Yang saya ingat jelas, Hujan Bulan Juni adalah buku puisi pertama saya yang tebal dan hard cover dengan pembatas unik.

Bukan Hujan Bulan Juni atau Yang Fana Adalah Waktu, melainkan Tuan, puisi yang menyihir saya (kamu bisa temukan di samping puisi Yang Fana Adalah Waktu).
Pendek sekali, seperti ini bunyinya:

"Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang keluar."

Sapardi mengajak berbincang Tuhan. Luar biasa. Ini membuat saya berpikir, puisi tak harus panjang dan bersajak-sajak.
Pendek saja seperti berbincang pun jadi.
Panjang pun boleh seperti Pada Suatu Malam, atau seperti puisi yang ditulis Jokpin.

Dalam pemaknaannya, puisi tidak pernah dipaksakan kepada pembacanya. Aan Mansyur pernah berkata bahwa pembaca puisi adalah penyair kedua yang melengkapi makna puisi yang ditulis. Jadi saya bebas memberi makna kepada puisi yang saya baca, makna yang saya harap sama seperti pemikiran si penulis.

Saya bigung mengakhiri obituari ini.
Saya hanya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya kepada Sapardi yang menjadikan saya menyukai puisi, membacanya diam-diam, dan menuliskan.

Selamat jalan, semoga Tuhan mengizinkan bertemu.

"Tuan Tuhan, bukan? Persilakan Sapardi masuk ke tempat terbaik-Mu."

Rest In Poem, Sapardi Djoko Damono
19 Juni 2020.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Atas Kasur

Musafir